Novel Pendek 4 Bab: Retak Dalam Sepi
Bagi penggemar novel singkat terutama genre rumah tangga, saya yakin akan menyelesaikan novel berikut ini yang berjudul Retak dalam Sepi. Novel ini mampu memancing emosi pembacanya. Bahkan ikut merasakan apa yang dialami oleh tokoh dalam novel.
Baca Simak novel "retak dalm sepi" sekarang juga temukan banyak hal di dalamnya, termasuk hal yang perlu dilakuakn ketika mengalami kondisi sulit.
Bab 1
Hujan turun perlahan sore itu, seperti biasa. Rinainya
menyapu jendela ruang tamu, menambah sunyi di dalam rumah yang seharusnya
hangat. Ayla duduk di sofa, menggenggam cangkir teh yang sudah dingin sejak
sejam lalu. Televisi menyala tanpa suara, hanya sebagai pengisi ruangan yang
hampa kata.
Di seberangnya, kursi kosong tempat Damar biasa duduk
setelah pulang kerja tetap tak terisi. Sudah tiga hari ini pria itu pulang
larut malam. Katanya, proyek di kantor sedang menumpuk. Ayla tak bertanya lebih
jauh, meski hatinya ingin tahu, meski pikirannya menjerat dengan berbagai
kemungkinan. Ia hanya menjawab dengan senyum tipis dan “hati-hati di jalan,”
seperti istri yang baik pada umumnya.
Waktu terasa lambat ketika ia membuka ponsel. Jari-jarinya
bergerak tanpa tujuan di layar, hingga matanya menangkap satu nama di daftar
teman yang tiba-tiba menyapa: Arvin — Teman SMA.
“Masih ingat aku?” begitu pesannya.
Ayla tertegun. Sudah hampir 15 tahun sejak ia dan Arvin
terakhir bertemu. Dulu mereka hanya sebatas teman akrab, sempat saling
tertarik, tapi waktu memisahkan sebelum apapun sempat tumbuh. Ragu-ragu, ia
mengetik balasan:
“Ingat. Lama sekali ya…”
Percakapan itu menjadi awal dari sebuah kebiasaan baru.
Setiap malam, setelah anak-anak tidur dan Damar belum pulang, Ayla kembali
membuka ponselnya. Arvin hadir seperti potongan masa lalu yang hangat, yang
mendengarkan tanpa menghakimi, yang bertanya dengan tulus dan tertawa lepas
seperti dulu. Hal-hal yang dulu ia dapatkan dari Damar, tapi kini perlahan
menghilang.
Suatu malam, Arvin mengirim foto mereka berdua saat SMA.
Senyum Ayla terbit tanpa sadar. Ia merasa dilihat, dirindukan, bahkan hanya
lewat layar. Sesuatu dalam dirinya berbisik: apakah ini salah?
Tapi sebelum ia menjawab bisikan itu, suara kunci pintu
terdengar. Damar pulang. Jam menunjukkan pukul 23.41.
Ayla menatap layar ponselnya sekali lagi sebelum
mematikannya.
“Sudah makan?” tanyanya pelan.
Damar hanya mengangguk, melepas jasnya, lalu masuk ke kamar tanpa menoleh.
Cangkir teh itu masih di meja. Dingin. Seperti rumah mereka.
BAB 2 — Yang Tidak Pernah Ditanyakan
Pagi datang seperti biasa, tapi tak ada yang terasa berbeda.
Ayla bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan, menyetrika seragam anak-anak, dan
menyiapkan bekal Damar. Semuanya berjalan dalam diam, dalam ritme yang sudah
begitu hafal sampai terasa otomatis—tanpa rasa.
Damar turun tangga sambil menatap layar ponsel. Ia hanya
mengangguk singkat melihat Ayla di dapur. Tak ada pelukan pagi seperti dulu,
tak ada cium kening atau tanya “Tidur nyenyak, sayang?”. Hanya dering
notifikasi dari gawainya yang terdengar nyaring di antara denting sendok dan
gelas.
“Bekalmu di meja,” ucap Ayla singkat.
“Hmm.”
Itu saja. Tak lebih. Lalu Damar pergi.
Ayla berdiri di ambang pintu saat suaminya masuk ke mobil.
Damar melaju tanpa melirik ke belakang. Tak ada lambaian tangan. Tak ada yang
ditinggalkan, selain hening yang makin menebal.
Siang itu, Ayla membuka ponselnya seperti biasa. Chat dari
Arvin menunggu di sana:
“Tadi aku lewat depan SMA kita. Tiba-tiba kangen masa
itu. Kita sempat ke kantin bareng tiap hari Jumat, ingat gak?”
Ayla tersenyum. Ia ingat. Bahkan ia masih ingat warna
seragam Arvin saat itu, suara tawanya, caranya menyapa guru dengan sopan tapi
santai. Ia mengetik:
“Kamu dulu suka jajan risol isi telur. Selalu rebutan
sama aku.”
Tak sampai semenit, Arvin membalas dengan emotikon tertawa.
Obrolan pun mengalir seperti aliran yang tertahan terlalu lama—terbuka, bebas,
dan tanpa tekanan. Ayla menceritakan anak-anaknya, rutinitasnya, dan...
kekosongan yang tak pernah ia sebutkan dengan kata-kata.
Arvin tak bertanya soal Damar. Tapi justru itulah yang
membuat Ayla nyaman. Karena semua orang bertanya soal Damar, dan Ayla lelah
menjawab dengan kebohongan kecil: “Kami baik-baik saja.”
Malam hari, Ayla duduk di teras rumah. Ia sengaja tidak
menyalakan lampu depan. Ia ingin sendiri, ditemani langit gelap dan sisa
gerimis.
Ia membuka kembali obrolan dengan Arvin. Lalu ia bertanya:
“Pernah ngerasa sendirian walau hidup serumah sama
seseorang?”
Butuh beberapa menit sebelum balasan datang.
“Sering. Itu lebih menyakitkan daripada benar-benar sendiri.”
Ayla menatap langit. Hatinya mulai goyah. Ini bukan sekadar
nostalgia. Ini celah. Sebuah ruang yang diam-diam ia buka untuk orang lain
karena orang yang seharusnya mengisi—tidak lagi ada di sana.
Suara mobil terdengar. Damar pulang. Kali ini pukul 22.15.
Lebih awal, tapi tetap tanpa kabar.
Ayla menatap ponselnya sejenak sebelum menyelipkannya ke
balik bantal. Ia berdiri, menyiapkan teh hangat, seperti biasa.
Saat Damar masuk, ia hanya berkata, “Lelah.”
Ayla mengangguk. Tak ada pelukan. Tak ada pertanyaan, “Kenapa
kamu pulang lebih awal hari ini?” atau “Kamu ingin bercerita?”
Karena mereka berdua sudah terbiasa tak saling bertanya.
BAB 3 — Di Antara Dua Kopi
Hari itu langit Jakarta mendung, tapi tidak hujan. Ayla
mengenakan blus putih polos dan celana kain abu-abu, sederhana namun rapi. Ia
berkali-kali melirik cermin sebelum akhirnya memutuskan turun dari taksi dan
masuk ke sebuah kafe kecil di sudut Kemang. Tempat itu dipilih Arvin — jauh
dari kantor, jauh dari rumah, dan jauh dari kenangan yang bisa memata-matai.
Arvin sudah di sana. Duduk di pojok, dengan kemeja biru muda
yang digulung di bagian lengan. Ia tersenyum begitu melihat Ayla datang, senyum
yang sama seperti 15 tahun lalu—tulus, terbuka, dan seolah tanpa beban. Ayla
ragu melangkah, tapi kaki dan hatinya telah sepakat untuk tak pulang.
“Akhirnya ya,” kata Arvin sambil berdiri, menarik kursi
untuknya.
“Iya. Akhirnya.”
Mereka memesan dua kopi—Ayla memilih latte, Arvin seperti
biasa: hitam, tanpa gula.
Obrolan pertama mereka canggung, penuh tawa kecil yang
menutupi gugup. Mereka bicara tentang sekolah, teman lama, bahkan guru yang
dulu galak tapi diam-diam suka humor receh. Semuanya terasa aman, ringan, tidak
bersalah.
Tapi seiring waktu, suasana mulai berubah. Arvin menatap
Ayla dengan cara yang tak lagi seperti teman lama. Ia mendengarkan setiap
kalimat Ayla dengan penuh perhatian, dengan cara yang sudah lama tidak Ayla
temukan dalam pernikahannya.
“Gimana kamu bisa tetap kuat, Ayla? Dengan semuanya?”
Ayla terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi tak pernah Damar tanyakan. Tak
pernah.
“Aku nggak kuat, Arv. Aku cuma diam. Karena diam lebih
gampang daripada bertengkar sendirian.”
Arvin menggenggam cangkirnya lebih erat.
“Kamu nggak harus sendiri.”
Ayla menunduk. Kalimat itu menggema terlalu dalam. Ia tahu
apa artinya. Ia tahu arah semua ini. Tapi ia juga tahu ia tidak sedang mencari
cinta baru. Ia hanya ingin dimengerti. Didengarkan. Dianggap ada.
“Arv,” ucap Ayla pelan. “Kita udah bukan anak SMA lagi. Ini
rumit.”
“Aku tahu. Tapi kamu lupa, Ayla… rumit bukan berarti salah.
Kadang justru yang rumit itu menunjukkan betapa pentingnya sesuatu.”
Senyap menggantung di antara mereka. Di luar, awan mulai
pecah. Gerimis jatuh ringan.
Ayla menatap jendela. Hatanya berkecamuk. Ia tahu batas itu
masih ada, tapi mulai kabur. Ada sesuatu dalam pertemuan ini yang tak bisa ia
hentikan. Sesuatu yang tumbuh dari luka dan sunyi, yang kini menemukan
tempatnya sendiri.
Setelah dua jam, mereka akhirnya berdiri. Tak ada pelukan,
tak ada sentuhan. Tapi ada sesuatu di mata mereka—sebuah pengakuan diam-diam
bahwa pertemuan ini bukan yang terakhir.
Saat Ayla naik taksi pulang, ponselnya berbunyi. Damar.
Satu pesan masuk: “Malam ini aku pulang lebih awal. Kamu masak sesuatu?”
Ayla mengetik balasan:
“Iya. Sup ayam dan nasi hangat.”
Tangannya gemetar saat menekan tombol kirim. Karena untuk
pertama kalinya, ia sadar: ia tidak lagi menunggu.
BAB 4 — Bukan Lagi Tentang Cinta
Malam itu, rumah terasa lebih terang dari biasanya. Damar
pulang lebih awal seperti janjinya. Ia bahkan sempat membantu menyiapkan meja
makan, sesuatu yang sudah lama tak ia lakukan. Anak-anak tertawa di ruang
keluarga, menonton film animasi, dan untuk sesaat, suasana rumah terasa seperti
dulu—penuh suara.
Tapi hanya sesaat.
Ketika Ayla dan Damar duduk berdua di meja makan setelah
anak-anak tidur, keheningan itu kembali datang. Damar menyantap sup ayam
buatannya tanpa banyak komentar. Ayla memperhatikan suaminya, memperhatikan
caranya diam.
“Aku ketemu Arvin siang ini,” ucap Ayla tiba-tiba.
Sendok di tangan Damar berhenti di tengah jalan. Ia menatap
Ayla, perlahan, tanpa ekspresi.
“Arvin? Yang dari SMA itu?”
Ayla mengangguk. “Dia temanku. Kami ngobrol. Sudah beberapa
minggu ini, sebenarnya.”
Damar menyandarkan punggung. Ia menghela napas panjang.
“Jadi ini yang bikin kamu berubah, ya?”
“Bukan. Aku berubah karena kamu berhenti melihat aku.”
Kata-kata itu keluar tanpa gemetar, tapi dengan luka yang
dalam. Ayla tidak ingin menyakiti, tapi ia juga tak ingin terus memendam. Ia
tahu batas itu sudah ia lewati sejak lama—bukan karena Arvin, tapi karena ia
merasa tak lagi hidup di rumahnya sendiri.
Damar mengusap wajahnya. “Jadi kamu selingkuh?”
Ayla menatap suaminya. “Kalau yang kamu maksud dengan
selingkuh adalah menemukan seseorang yang mau dengar aku bicara tanpa harus
menunggu aku menangis dulu, mungkin iya.”
Tak ada teriakan. Tak ada piring pecah. Hanya dua orang
dewasa yang akhirnya bicara tentang luka yang sudah lama mereka tutupi.
“Aku capek, Dam. Aku gak minta kamu jadi sempurna. Aku cuma
ingin ditemani, didengar, dianggap penting. Tapi yang kudapat tiap hari cuma
bayanganmu. Fisikmu ada, tapi hatimu entah di mana.”
Damar menunduk. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama,
ia tidak membela diri.
Seminggu berlalu sejak percakapan itu. Arvin menghubungi
Ayla beberapa kali, tapi Ayla belum membalas.
Ia duduk di ruang tamu, menatap foto keluarga mereka yang
tergantung di dinding. Gambar itu masih utuh, tapi ia tahu—yang utuh belum
tentu baik-baik saja.
Hari itu, Ayla menyerahkan sebuah surat pada Damar. Isinya
bukan gugatan cerai, bukan daftar keluhan, bukan permintaan maaf. Hanya satu
halaman, ditulis tangan, berisi kalimat:
“Aku ingin mulai bicara lagi. Bukan dengan diam, bukan
dengan marah. Tapi dengan jujur. Kalau kamu mau, kita bisa mulai. Kalau tidak,
aku akan pergi dengan tenang.”
Damar membacanya dalam diam. Lalu ia mendongak. Untuk
pertama kalinya sejak lama, mata mereka bertemu. Tak lagi dengan tuduhan. Tapi
dengan kesadaran.
“Besok kamu bisa temani aku ke tempat konseling pernikahan
itu?” tanyanya pelan.
Ayla tak langsung menjawab. Tapi hatinya mengangguk.
Bukan karena semuanya akan baik-baik saja. Tapi karena
akhirnya, mereka mulai bicara.
Dan itu cukup—untuk hari ini. Selesai.
Post a Comment for "Novel Pendek 4 Bab: Retak Dalam Sepi"