Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 9
Malam itu, aku memutuskan untuk menghadapi semuanya dengan lebih jujur. Tidak lagi melarikan diri ke dalam diam atau menyibukkan diri dengan pikiran-pikiran yang membingungkan. Jika aku ingin mendapatkan jawaban, aku harus mulai mencari keberanian di dalam diriku.
Reza baru saja pulang, membawa tas kerjanya ke kamar. Dia
tampak lelah, tetapi kelelahan itu tidak lagi membuatku iba. Aku duduk di meja
makan, menunggunya keluar dari kamar. Ketika dia akhirnya kembali, aku
memanggilnya dengan nada datar.
“Reza, kita harus bicara.”
Dia berhenti sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baik, Nadira.
Aku juga ingin bicara.”
Dia duduk di seberangku, tampak gelisah. Aku tahu dia sudah
memperkirakan pembicaraan ini akan datang. Tapi malam ini, aku tidak akan
membiarkannya mengontrol percakapan. Aku yang akan menentukan arah dan akhir
dari semua ini.
“Aku sudah dengar semuanya dari Alya,” kataku tanpa
basa-basi. “Aku tahu dia bukan hanya seorang wanita yang kamu temui karena
kebetulan. Dia punya sejarah dengan Arif. Dan aku tahu dia menggunakanmu,
seperti dia menggunakan orang lain sebelumnya.”
Reza tampak terkejut. “Alya? Dia cerita ke kamu?”
Aku mengangguk. “Aku menemui dia. Dan aku menemui Arif. Aku
tahu semuanya.”
Dia terdiam, terlihat seperti anak kecil yang tertangkap
basah melakukan kesalahan. Tapi aku tidak sedang mencari pengakuannya malam
ini. Aku mencari jawaban lain.
“Reza,” lanjutku, “Aku ingin tahu satu hal. Apa yang kamu
cari darinya? Kenapa kamu memilih untuk menghancurkan apa yang kita punya, apa
yang kita bangun bersama?”
Dia menundukkan kepalanya, menghela napas panjang. “Aku
nggak tahu harus mulai dari mana. Aku… aku nggak pernah berniat untuk
menghancurkan pernikahan kita, Nadira. Aku terlalu bodoh untuk menyadari apa
yang aku lakukan.”
Aku mendengarkan, tetapi hatiku tetap dingin. “Itu alasanmu?
Kamu nggak tahu? Atau kamu hanya nggak mau bertanggung jawab?”
“Aku merasa… terjebak, Nadira,” katanya akhirnya, suaranya
pelan. “Aku tahu itu terdengar egois, tapi aku merasa ada bagian dari diriku
yang hilang. Aku bekerja, aku pulang, kita menjalani rutinitas yang sama. Aku
merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Dan ketika aku bertemu Alya, dia
membuatku merasa hidup lagi.”
Kata-katanya menusukku lebih dari yang bisa kubayangkan.
“Hidup lagi? Jadi, aku ini apa, Reza? Aku hanya seseorang yang kamu anggap
bagian dari rutinitasmu?”
“Bukan begitu maksudku…” Dia mencoba menjelaskan, tetapi aku
tidak membiarkannya.
“Selama ini aku juga merasa lelah, Reza. Aku juga merasa
terjebak. Tapi aku tidak pernah membiarkan diriku mencari kebahagiaan di luar
pernikahan kita. Karena aku menghormati janji kita. Aku mencintai kamu.”
Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca, tetapi aku tidak
peduli. Aku sudah terlalu sering melihat air mata tanpa tindakan nyata di
belakangnya.
Malam itu, aku memutuskan untuk tidur di kamar tamu. Aku
tidak ingin ada di dekatnya, setidaknya untuk sementara waktu. Aku butuh waktu
untuk memproses semuanya. Kata-katanya tentang merasa "terjebak"
terus terngiang di kepalaku. Apakah pernikahan kami benar-benar seperti itu?
Apakah aku juga bersalah karena tidak menyadari rasa kehilangan yang dia
rasakan?
Tetapi semakin aku merenungkan kata-katanya, semakin aku
menyadari sesuatu. Pernikahan adalah tentang kerja sama. Jika dia merasa
kehilangan, mengapa dia tidak berbicara padaku? Mengapa dia memilih untuk
mencari jawaban di luar, menghancurkan segalanya tanpa memberiku kesempatan
untuk memperbaiki apa yang salah?
Paginya, aku bangun lebih awal. Aku membuat secangkir kopi
untuk diriku sendiri dan duduk di teras rumah, memandangi langit pagi yang
perlahan berubah terang. Pikiranku penuh dengan pertanyaan, tetapi di dalam
semua kekacauan itu, satu hal menjadi jelas: aku tidak bisa terus hidup seperti
ini.
Ketika Reza akhirnya bangun, aku menunggunya di ruang makan.
Dia tampak ragu-ragu saat melihatku, tetapi aku mempersilakannya duduk.
“Reza,” kataku dengan tenang, “Aku ingin kita mengambil
jeda.”
Dia menatapku dengan tatapan bingung. “Jeda? Maksud kamu
apa?”
“Aku butuh waktu untuk sendiri. Dan aku rasa kamu juga butuh
waktu untuk memikirkan apa yang sebenarnya kamu inginkan. Kita nggak bisa terus
begini, pura-pura semuanya baik-baik saja.”
“Nadira, aku tahu aku salah. Tapi aku nggak mau kehilangan
kamu. Aku nggak bisa…”
Aku menggeleng, memotong kalimatnya. “Ini bukan soal
kehilangan, Reza. Ini soal menemukan. Aku butuh menemukan diriku sendiri lagi.
Dan kamu juga. Kalau kamu benar-benar mencintai aku, kamu akan menghormati
keputusan ini.”
Dia terdiam, lalu perlahan mengangguk. “Aku akan lakukan apa
pun yang kamu butuhkan, Nadira.”
Post a Comment for "Novel: Malam Yang Tak Pernah Pulang Bab 9"