Novel Pendek 5 Bab: Pulang Sebelum Esok
Pulang Sebelum Esok adalah sebuah novel pendek tentang waktu, penyesalan, dan kesempatan kedua. Dalam rentang satu malam yang mustahil, seorang anak muda dihadapkan pada pilihan yang tak biasa: mengubah masa lalu atau menerima kenyataan dengan hati yang utuh.
Melalui perjalanan melintasi waktu yang sunyi dan
mendebarkan, kisah ini mengajak kita merenungkan satu hal sederhana—jika diberi
satu hari lagi bersama orang yang kita cintai, apa yang akan kita lakukan?
Bab 1 – Detik Terakhir
Udara kamar itu terasa berat, seperti menyimpan semua kata
yang pernah terucap dan tak pernah ditarik kembali. Lampu temaram menyorot
debu-debu halus yang beterbangan setiap kali Aditya melangkah. Ia berdiri di
ambang pintu, memandang sekeliling ruangan yang pernah menjadi milik
ayahnya—ruang kerja yang kini lebih mirip museum kenangan.
Rak-rak buku penuh dengan jurnal teknik, foto-foto hitam
putih, dan sketsa mesin yang tak pernah selesai. Di meja kayu yang mulai lapuk,
sebuah kotak kayu kecil tergeletak begitu saja. Tidak terkunci. Tidak
tersembunyi. Tapi entah mengapa, baru malam itu Aditya melihatnya.
Tangannya bergerak pelan, membuka kotak itu. Di dalamnya,
terletak sebuah jam saku antik berwarna perak. Elegan, tapi sederhana. Ada
ukiran di bagian belakang: “Untuk yang tak pernah menyerah pada waktu.”
Aditya mengerutkan kening. Ia tidak pernah melihat ayahnya mengenakan jam itu.
Ia memutar bagian atas jam. Tiba-tiba, detakan halus
terdengar dari dalamnya, seperti jantung yang kembali berdetak setelah lama
terdiam. Pukul 23:59.
Aditya menatap jarum jam itu seperti terpaku. Di luar, hujan
mulai turun, dan suara angin berdesir di sela-sela jendela yang tak sepenuhnya
tertutup. Dalam benaknya, wajah ayahnya terbayang—hari terakhir mereka bertemu,
kata-kata penuh amarah yang meluncur dari mulutnya tanpa pikir panjang.
"Ayah nggak pernah dengar siapa pun kecuali suara
dari kepala sendiri."
"Kalau kamu ngerasa lebih tahu, silakan. Jalan sendiri."
Dan ayahnya memang pergi. Tanpa sempat kembali.
Dada Aditya terasa sesak. Ia mencoba menepis kenangan itu,
namun suara detik jam saku semakin keras, menggema di telinga. Satu detik… dua
detik… kemudian tiba-tiba dunia seperti berhenti.
Semuanya menjadi sunyi. Terlalu sunyi.
Lantai di bawah kakinya bergoyang, seperti tanah kehilangan
bentuknya. Lampu padam, dan kegelapan menelan segalanya. Sebelum sempat panik,
Aditya merasa tubuhnya ringan, seperti terhisap ke dalam lubang tak berdasar.
Lalu… cahaya.
Ia terbaring di lantai, napasnya memburu. Saat membuka mata,
ia mendengar suara motor tua meraung di kejauhan. Aroma nasi goreng dari
gerobak langganan di ujung gang menyapa hidungnya. Ia bangkit dengan perlahan,
menatap sekeliling.
Ini… rumahnya. Tapi tidak seperti yang ia tinggalkan tadi
malam.
Di dinding, kalender menunjukkan tanggal enam bulan yang
lalu.
Dan dari ruang tamu, terdengar suara yang membuat bulu
kuduknya merinding—suara tawa berat yang hanya bisa dimiliki satu orang.
"Aditya? Kamu belum tidur juga, Nak?"
Itu suara ayahnya.
Ayahnya masih hidup.
Dan waktu, entah bagaimana, telah memberinya kesempatan
kedua.
Bab 2 – Hari yang Tak Pernah Kembali
Aditya berdiri membatu di ambang pintu kamarnya, tubuhnya
masih gemetar meski udara malam terasa hangat. Suara itu—suara ayahnya—masih
bergema di lorong. Nyata. Penuh kehidupan. Bukan gema dari ingatan yang kabur,
bukan ilusi dalam mimpi panjang.
Ia berjalan pelan ke ruang tamu. Dan di sana, ayahnya duduk
di kursi rotan yang selalu berderit jika disentuh. Rambutnya sedikit
acak-acakan, berkemeja santai dengan kopi hitam di tangan. Di meja depan
televisi, sebuah koran lokal tergeletak dengan tanggal yang tak mungkin salah—29
Desember. Aditya tahu persis, malam itu adalah malam terakhir sang ayah
menginjak rumah sebelum kecelakaan tragis terjadi keesokan harinya.
Ayahnya menoleh, tersenyum tipis.
“Kamu ngapain belum tidur? Besok kuliah, kan?” tanyanya,
suaranya lembut namun tetap punya nada perintah yang khas.
Aditya tercekat. Ia ingin berlari dan memeluk pria itu,
menangis dan meminta maaf atas semua yang tak sempat diucapkan. Tapi ia tahu ia
tak bisa. Belum. Karena jika ayahnya tahu betapa mustahil semua ini, waktu
mungkin akan pecah seperti kaca retak.
Ia menjawab pelan, “Iya, cuma… kepikiran sesuatu.”
Ayahnya mengangguk pelan, lalu memutar sendi lehernya dengan
suara krek yang familiar. “Pikiran bisa berat kalau disimpan sendiri, Dit. Tapi
ya, kamu kayak ibu kamu, keras kepala kalau udah nyimpen apa-apa.”
Aditya tersenyum kecil. Wajah ayahnya di cahaya lampu malam
begitu nyata. Kerutan di dahi, bekas luka kecil di pipi dari masa mudanya, dan
kantung mata yang dulu selalu ia anggap sebagai tanda kelelahan abadi—semua
kembali, seperti waktu belum menyentuhnya.
Setelah basa-basi sebentar, Aditya kembali ke kamar dan
menutup pintu. Dadanya berdegup kencang. Ia menyandarkan diri ke tembok dan
mencoba merangkai semuanya. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa kembali ke masa
ini, dan ia tidak tahu sampai kapan ia akan tetap di sini. Tapi satu hal jelas:
ini adalah hari terakhir ayahnya hidup. Jika ia ingin mencegah tragedi itu, ia
hanya punya waktu kurang dari 12 jam.
Ia meraih jam saku yang tergeletak di meja. Masih berdetak.
Tidak seperti jam biasa, ini tak menunjukkan waktu—hanya jarum yang terus
bergerak searah jarum jam, seperti penghitung mundur yang tak mau memberitahu
kapan akhir tiba.
Apakah aku bisa mengubah takdir? pikirnya.
Ia menyalakan laptop lamanya dan mulai mencari informasi
tentang hari itu—kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya. Ia mencatat waktu
pasti kecelakaan: 07.24 pagi, di tikungan jalan Raya Pangrango, saat
sang ayah hendak berangkat ke proyek pembangunan jembatan. Mobilnya oleng dan
menghantam pohon besar. Kecelakaan tunggal, tanpa saksi, tanpa penyebab yang
jelas.
Aditya menatap layar laptop itu dalam hening. Mencegah
ayahnya keluar rumah berarti mencegah semua itu. Tapi bagaimana? Ayahnya tipe
orang yang selalu tepat waktu, disiplin, dan tidak akan membatalkan pekerjaan
hanya karena anaknya bilang "jangan pergi".
Ia menyusun rencana. Mungkin ia bisa berpura-pura sakit dan
meminta ayahnya menemaninya ke klinik. Atau menjebak mobil ayahnya agar tak
bisa dinyalakan. Tapi waktu terlalu sempit. Dan setiap perubahan kecil bisa
berdampak besar.
Namun, dalam hati kecilnya, Aditya tahu satu hal:
Jika malam ini adalah malam terakhir, ia tidak akan menyia-nyiakannya hanya
untuk berpikir.
Ia harus melakukan sesuatu. Dan itu harus dimulai sekarang.
Bab 3 – Ayah yang Tak Pernah Aku Kenal
Pagi menjelang lebih cepat dari yang Aditya harapkan.
Matahari belum sepenuhnya terbit, namun rumah sudah dipenuhi aroma kopi dan
bunyi ceret mendesis. Ia melangkah keluar dari kamar, masih mengenakan kaos
lusuh dan celana olahraga. Di dapur, ayahnya sedang duduk membaca koran dengan
posisi yang sama seperti yang Aditya lihat enam bulan lalu—hari terakhir itu.
Namun kali ini, semuanya terasa lebih hidup.
“Tumben bangun pagi,” ujar ayahnya tanpa menoleh.
“Ada yang kepikiran, ya?”
Aditya hanya mengangguk dan duduk di seberang. Kopi hangat
sudah tersedia untuknya, seperti kebiasaan lama yang nyaris ia lupakan. Ia
menatap wajah ayahnya dalam diam. Ada sesuatu yang berbeda sekarang. Bukan pada
ayahnya—tapi pada dirinya. Dahulu ia hanya melihat sosok itu sebagai sosok
keras kepala yang tak pernah mau mendengar. Tapi kini, saat waktunya terbatas,
ia mulai melihat sesuatu yang tak pernah ia perhatikan: kelelahan di mata,
kesunyian yang tertutup rapi oleh rutinitas.
“Yah,” kata Aditya tiba-tiba, suaranya pelan.
“Besok jangan ke proyek dulu, ya?”
Ayahnya menoleh perlahan. “Kenapa?”
Aditya ingin menjawab dengan jujur—ingin mengatakan bahwa
jika ayahnya keluar rumah besok, ia akan meninggal. Tapi mulutnya tercekat. Apa
yang akan dipercayai seorang ayah dari anaknya yang tiba-tiba bicara seperti
cenayang?
“Cuma… perasaan aja. Kayak… bakal ada sesuatu,” ujar Aditya
akhirnya.
Ayahnya menatap tajam. Bukan karena marah, tapi karena
bingung. Ia mengangguk pelan lalu kembali pada korannya.
“Kalau kamu mau sesuatu berubah, jangan cuma ngasih perasaan. Ngomong yang
jelas.”
Aditya menghela napas. Ia harus mencari cara lain. Dan waktu
terus berjalan.
Hari itu, Aditya memutuskan satu hal: sebelum mencoba
mengubah nasib, ia harus benar-benar mengenal ayahnya—bukan sebagai
“orang tua yang sulit diajak bicara”, tapi sebagai manusia.
Ia mengikuti ayahnya seharian: ke bengkel untuk servis
mobil, ke toko bangunan, hingga ke warung langganan yang biasa mereka kunjungi
saat Aditya masih kecil. Ayahnya tidak menolak, tapi heran. Dan di setiap
tempat itu, Aditya mulai melihat sisi-sisi ayahnya yang dulu tertutup kabut
emosi:
Ayahnya menyapa semua orang dengan nama. Membantu tukang parkir tua mengangkat
dus tanpa diminta. Membeli rokok buat sopir truk di warung yang bahkan tidak ia
kenal.
Aditya ingat, dulu ia sering menyebut ayahnya ‘dingin’. Tapi
ternyata bukan dingin—hanya diam-diam peduli.
Malamnya, mereka makan bersama. Tidak seperti dulu, tidak
ada percakapan yang dingin atau penuh sindiran. Malam itu, mereka tertawa.
Tentang Aditya kecil yang pernah mengunci ayahnya di kamar mandi. Tentang
bagaimana ayahnya hampir jadi drummer band saat muda, sebelum akhirnya memilih
menjadi insinyur karena, katanya, “lebih masuk akal untuk beli beras.”
Aditya menatap ayahnya lama. Di balik kerasnya nada, ayahnya
adalah pria yang selalu mencoba melindungi, meski dengan cara yang salah. Dan
kini, Aditya punya pilihan yang lebih sulit dari apa pun:
Apakah ia akan tetap mencegah kematian ayahnya dengan risiko mengubah
segalanya?
Atau membiarkan waktu mengambil jalannya, dan menjadikan satu hari ini sebagai hari
yang sempurna untuk mengucapkan selamat tinggal?
Jam saku berdetak di saku celananya. Pelan tapi pasti. Waktu
tidak menunggu.
Bab 4 – Menantang Takdir
Malam menelan rumah itu dalam sunyi. Di kamar, Aditya duduk
di lantai sambil memeluk lutut, cahaya remang dari lampu meja menerpa wajahnya
yang letih. Jam saku di tangannya berdetak lambat—tidak menunjuk angka apa pun,
hanya satu jarum yang terus berputar, seolah waktu bukan sesuatu yang bisa
dihitung, tapi dirasakan.
Pukul 02:11.
Kurang dari lima jam sebelum kecelakaan yang mengubah segalanya.
Aditya tahu ini bukan soal rencana lagi. Semua yang ia
pikirkan—merusak mobil, membuat ayahnya sakit, bahkan mencegahnya keluar
rumah—semuanya sudah ia pertimbangkan. Tapi satu hal tak pernah bisa ia atur: kemauan
ayahnya sendiri.
Dan ayahnya adalah pria yang tak pernah menunda tugas.
Pagi buta, langit masih gelap ketika Aditya diam-diam ke
garasi dan membuka kap mobil. Ia menarik satu kabel kecil dari dalam mesin. Ia
bukan montir, tapi cukup tahu cara membuat mobil itu tidak menyala, setidaknya
untuk pagi ini.
Ia kembali masuk ke rumah dan menunggu. Jantungnya berdegup
tak karuan. Ia tahu ini bisa jadi satu-satunya celah yang ia miliki.
Pukul 06:30, ayahnya keluar dari kamar, rapi dengan kemeja
biru langit dan map proyek di tangan. Seperti biasa, tepat waktu. Seperti
biasa, tak perlu sarapan.
Aditya berdiri di depan pintu, menahan napas.
“Mobilnya nggak bisa nyala, Yah,” ucapnya cepat, menutupi
rasa gugup.
Ayahnya mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Nggak tahu. Tadi aku coba bantu nyalain, tapi kayaknya
akinya mati.”
Kebohongan kecil, demi kebaikan besar. Atau setidaknya, itu yang ia yakini.
Ayahnya mendesah pelan, lalu memijit pelipisnya. “Ada
kerjaan penting, Dit. Proyek ini tinggal satu tahap.”
Aditya menahan diri untuk tidak berkata, "Kalau ayah
pergi, ayah akan mati."
Tapi ia tahu, itu tak akan bisa dijelaskan.
“Ayah bisa tunda setengah hari aja? Nanti aku temenin ke
bengkel, kita benerin mobil sama-sama,” rayunya.
Ayahnya memandangnya lama. Lalu sesuatu yang tak biasa
muncul di wajahnya—keraguan.
“Kenapa kamu begini banget pagi ini, Dit?” tanyanya.
Aditya membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Kata-kata terasa tak cukup.
Karena kalau aku jujur, segalanya mungkin lebih gila.
Ayahnya akhirnya mengangguk, meski ragu. “Oke. Tapi cuma
setengah hari. Siang nanti ayah tetap berangkat, ya?”
Dan saat itulah, Aditya menyadari: waktu hanya bisa ditunda,
tidak dihentikan.
Pukul 10:12 pagi.
Ayahnya sudah mengganti baju rumah. Mobil masih di bengkel,
tapi ia berkata akan minta sopir proyek menjemput. Aditya panik. Semua
rencananya seperti pasir yang mengalir dari sela jari. Ia merasa kalah—oleh
logika waktu, oleh keras kepala ayahnya, dan oleh fakta bahwa ia tak bisa
menyelamatkan orang yang dicintainya hanya dengan niat baik.
Ketika sopir proyek tiba, ayahnya bersiap keluar. Aditya
berdiri di tengah pintu, menghalangi jalan.
“Ayah, tolong… jangan pergi.”
Itu bukan permintaan biasa. Ada nada gemetar di suaranya,
dan ayahnya melihatnya, benar-benar melihatnya.
“Dit…” Ayahnya meletakkan tangannya di bahu Aditya.
“Kamu takut sesuatu, ya?”
Aditya mengangguk. Ia tak bisa berkata apa pun lagi.
Dan mungkin karena itulah, untuk pertama kalinya, ayahnya
tidak berkeras. Ia menoleh ke sopir dan berkata, “Bilang ke Pak Anton, saya
menyusul siang nanti. Ada urusan di rumah.”
Sopir mengangguk dan pergi. Dan dunia terasa seperti menarik
napas panjang.
Siang berlalu. Tak ada kecelakaan di berita. Tidak ada
ambulans yang melintasi jalan. Tidak ada kematian.
Aditya ingin bersorak. Tapi di dalam hatinya, ia tahu: waktu
tidak pernah membiarkan dirinya diperdaya begitu saja.
Saat sore datang, ayahnya keluar untuk membeli sesuatu di
warung ujung gang. Hanya sebentar, katanya. Hanya lima menit.
Tapi Aditya melihat jam saku. Jarum yang sejak awal bergerak
lambat tiba-tiba melonjak.
Ia berlari ke luar rumah, instingnya memekikkan satu hal:
Ini bukan tentang di mana kecelakaan terjadi. Ini tentang kapan waktu
menagih janji.
Dan di tikungan itu—jalan kecil tempat ayahnya biasa
menyebrang—sebuah motor melaju terlalu cepat.
Tanpa pikir panjang, Aditya menerjang ke tengah jalan,
tubuhnya menghantam ayahnya dan mendorongnya jatuh ke trotoar.
Brak.
Segalanya gelap.
Dan waktu, untuk sesaat… diam.
Bab 5 – Pulang Sebelum Esok
Aditya terbangun dalam cahaya pucat. Ruangan itu asing, tapi
juga akrab. Dinding putih, bau antiseptik, suara alat monitor berdetak lambat.
Kepalanya berdenyut, dan seluruh tubuh terasa berat seperti dilapisi batu. Ia
mencoba bergerak, tapi hanya bisa mengedip.
Lalu sebuah suara datang, lembut dan mengejutkan.
“Aditya… kamu dengar Ibu?”
Ibunya. Suara yang nyaris terlupakan, karena sejak ayah
meninggal, suara itu lebih sering menangis ketimbang bicara.
Kini suara itu terdengar utuh. Hangat.
Ia membuka mata perlahan. Ibunya duduk di sisi ranjang,
menggenggam tangannya. Ada air mata di matanya, tapi bukan air mata
duka—melainkan lega.
“Kamu… kamu sadar. Ya Allah…”
Aditya mencoba bicara, tapi hanya gumaman keluar. Ia
menoleh, dan saat matanya menyapu sisi ruangan, ia melihat sosok lain berdiri
di sudut.
Ayahnya.
Hidup.
Pakaiannya masih sama seperti pagi itu. Rambut sedikit
berantakan. Matanya lelah, tapi basah.
“Kamu nyelamatin Ayah…” gumamnya.
“Tapi kamu bisa… kamu bisa mati.”
Aditya tak menjawab. Hanya tersenyum lemah. Rasanya aneh
melihat ayahnya menangis. Tapi juga indah.
Jam saku itu—entah bagaimana—masih ada di meja samping
ranjang. Tapi kali ini, jarumnya tak bergerak. Seolah waktu telah selesai
melakukan tugasnya.
Hari berganti. Luka-luka Aditya sembuh perlahan. Ia tidak
bertanya bagaimana ia bisa selamat. Ia tahu ada hal-hal yang tak perlu
dijelaskan—cukup diterima.
Satu hal yang pasti: waktu telah berubah.
Dalam hari-hari berikutnya, hidup menjadi berbeda. Ayahnya
lebih sering di rumah. Mereka makan malam bersama. Kadang hanya menonton berita
sambil diam, kadang berdiskusi panjang seperti dua sahabat lama yang baru
bertemu lagi. Tidak sempurna, tapi nyata.
Dan Aditya, perlahan, mulai memaafkan dirinya sendiri.
Bukan karena ia berhasil menyelamatkan seseorang. Tapi
karena ia berani mencoba. Karena ia tak membiarkan penyesalan menjadi
satu-satunya warisan yang ia punya.
Suatu malam, ia duduk di balkon sendirian. Langit gelap,
bulan setengah. Di tangannya, jam saku itu diam.
Ia membukanya perlahan. Tak ada jarum bergerak. Tak ada
suara detik. Tapi di dalamnya, ada ukiran baru, yang entah kapan muncul:
“Kamu pulang tepat waktu.”
Aditya menutup jam itu dengan senyum kecil.
Waktu mungkin tak bisa dimiliki. Tapi ia tahu satu hal:
Kadang, satu malam saja cukup untuk mengubah segalanya.
TAMAT
Post a Comment for "Novel Pendek 5 Bab: Pulang Sebelum Esok"