Novel Pendek 5 Bab : Gerbang Kelima
Waktu selalu kita anggap lurus—bergerak dari awal ke akhir, dari sebab ke akibat. Kita tumbuh dengan keyakinan bahwa masa lalu tak dapat diubah, dan masa depan belum dapat disentuh. Namun, bagaimana jika garis itu bukan satu, melainkan ribuan, saling bertumpuk, saling menyilang, menunggu seseorang yang cukup gila untuk mencungkil salah satunya?
Ini bukan kisah tentang mesin waktu seperti dalam buku
pelajaran atau cerita fiksi anak-anak. Ini adalah kisah tentang sebuah
celah—retakan kecil dalam fabrik semesta, tempat waktu tidak lagi mengenal
arah, dan realitas menjadi pilihan yang harus dibayar mahal.
Dan di tengah segala kemungkinan itu, berdirilah satu orang.
Satu kesalahan. Satu kunci.
Gerbang telah terbuka. Dan waktu… sedang menunggu. Simak dalam novel singkat ini.
Bab 1: Penemuan Pertama
Langit musim gugur menggantung kelabu di atas atap
laboratorium tua di pinggiran kota. Daun-daun kering beterbangan diterpa angin,
menghantam kaca-kaca jendela yang telah berembun oleh hawa dingin. Di dalam
ruangan yang sempit dan penuh dengan tumpukan dokumen berdebu, seorang pria
bernama Arga duduk membungkuk di depan meja kayu lapuk, dikelilingi oleh
susunan kabel, tabung vakum, dan rangkaian alat pengukur waktu yang tidak lagi
diproduksi di abad ini.
Ia bukan siapa-siapa di mata dunia. Seorang pengajar fisika
tak tetap yang lebih banyak menghabiskan malam-malamnya membaca jurnal lama
ketimbang bersosialisasi. Namun di balik kerah bajunya yang lusuh dan tatapan
mata yang suram, tersimpan obsesi yang sudah menggerogoti hidupnya selama lebih
dari satu dekade—obsesi terhadap waktu.
Sudah bertahun-tahun ia mencoba membuktikan bahwa waktu
bukan sekadar arus yang mengalir satu arah. Ia percaya bahwa waktu menyimpan
simpul-simpul tersembunyi—titik-titik yang bisa diakses jika seseorang tahu
bagaimana mencarinya. Ia menyebutnya "Gerbang", bukan karena
bentuknya menyerupai pintu, melainkan karena sifatnya sebagai batas yang rapuh
antara satu fragmen waktu dan yang lain. Teori itu ditertawakan, disingkirkan
dari jurnal ilmiah, dan membuatnya nyaris kehilangan pekerjaan. Tapi malam ini,
sesuatu berbeda.
Arga menghidupkan mesin prototipe terakhirnya, sebuah
struktur logam melingkar dengan inti energi di pusatnya. Cahaya kebiruan mulai
menyembur dari celah-celahnya, berdenyut seperti detak jantung buatan. Di layar
komputernya, pola-pola waktu yang selama ini hanya muncul sebagai teori
matematis mulai membentuk konfigurasi stabil. Satu simpul, satu koordinat, satu
titik anomali—muncul di hadapannya. Tanda pertama dari sebuah gerbang.
Dengan napas tertahan, ia mencatat semuanya. Koordinat
waktu, perubahan gravitasi mikro, fluktuasi partikel eksotik. Semua sesuai
prediksi. Namun ada satu hal yang tak pernah ia perhitungkan: getaran halus di
udara, seperti gema dari sesuatu yang belum terjadi. Ruangan itu terasa lebih
sempit, seolah dimensi ruang menyusut secara perlahan. Ia tidak hanya
mendeteksi gerbang itu. Ia telah membukanya.
Pada saat itulah, jam dinding di belakangnya berhenti
berdetak. Bukan melambat, bukan rusak—tetapi berhenti sepenuhnya, jarumnya
menggantung diam di angka dua belas. Di tengah sunyi yang tiba-tiba menyelimuti
ruangan, Arga sadar bahwa batas waktu telah retak. Ia tidak lagi sekadar
melihat masa lalu dan masa depan sebagai konsep; kini, ia telah menyentuh
tepinya.
Di kejauhan, langit kelabu menggelap lebih cepat dari
seharusnya, dan bayangan panjang menjalar masuk dari balik pintu laboratorium
yang belum sempat ditutup. Penemuan pertama bukan sekadar keberhasilan. Ia
adalah panggilan—dan sekaligus peringatan.
Bab 2: Tahun yang Hilang
Pagi itu, dunia terasa asing bagi Arga, meski segala sesuatu
tampak berada di tempat yang sama. Pohon tua di depan rumahnya berdiri kaku,
bangku taman kecil masih reyot seperti biasa, dan udara pagi membawa bau tanah
yang basah setelah hujan semalam. Namun sesuatu dalam ritme semesta telah
berubah, sesuatu yang tak bisa dijelaskan hanya dengan logika atau ilmu
pengetahuan.
Ketika ia melangkah keluar dari laboratorium, sinar matahari
yang menyelinap di sela-sela awan membawa kejernihan yang menusuk. Jalanan
terlihat lebih bersih dari biasanya. Tak ada lalu lalang kendaraan, tak ada
suara anak-anak sekolah yang biasanya melewati depan gerbang, bahkan koran yang
ia langganan setiap pagi tidak ada di ambang pintu. Semuanya terasa hening,
tidak wajar, seolah waktu telah melupakan bagian ini dari peta dunia.
Arga kembali masuk dan menyalakan radio tuanya, berharap
mendapatkan informasi atau sekadar suara untuk menepis rasa aneh yang
menggelayuti pikirannya. Tetapi frekuensi siaran yang biasa ia dengar tak
bersuara. Hanya suara gemerisik statis. Ia mencoba saluran lain—semuanya sunyi.
Lalu ia menyalakan televisi, dan layar menampilkan berita dengan tanggal yang
membuat jantungnya melompat: 14 Juni 2026.
Kepalanya berdenyut. Ingatannya terakhir adalah tanggal 10
Juni 2025. Bukan mimpi, bukan delusi. Satu tahun penuh hilang dari
kesadarannya, tercabut seperti halaman kosong dari sebuah buku harian. Ia
berlari ke ruang belakang, ke tempat ia mencatat setiap eksperimen dan
observasi. Puluhan lembar jurnal berserakan di lantai, tinta luntur di beberapa
bagian. Namun, halaman terakhir yang ia tulis masih tercatat dengan jelas: Gerbang
pertama terbuka. Waktu tidak lagi linear.
Ia mencoba merangkai logika di balik anomali ini. Jika
gerbang benar-benar aktif, mungkin ia telah mengalaminya secara langsung. Tapi
mengapa hanya ingatan yang hilang? Mengapa hanya kesadarannya yang tertinggal,
sementara tubuhnya tetap hidup, makan, bergerak, bahkan mungkin berbicara
selama setahun terakhir?
Jawabannya datang tidak dari catatan, tetapi dari cermin
kecil yang tergantung di dekat rak alat. Ia menatap wajahnya dan melihat
garis-garis baru di sekitar matanya, sedikit uban yang dulu tidak ada. Tubuhnya
tak berbohong. Satu tahun telah berlalu dalam dirinya, meski pikirannya
tertinggal di masa lalu.
Di atas meja, sebuah benda kecil tak dikenal
tergeletak—logam bulat berwarna hitam, datar di satu sisi dan berpendar
samar-samar di sisi lain. Ia tidak pernah membuatnya. Tidak ada catatan tentang
itu. Namun, ketika ia menyentuh permukaannya, impuls aneh menjalar ke
ujung-ujung jarinya, seperti percikan listrik dari ingatan yang terkunci. Ia
tahu satu hal: benda ini bukan dari masa sekarang. Ia—atau seseorang yang
mengendalikan tubuhnya selama setahun terakhir—membawanya dari gerbang waktu
yang terbuka itu.
Arga berdiri lama di depan jendela laboratoriumnya, menatap
dunia yang tak berubah namun tak lagi sama. Ia tidak hanya kehilangan waktu. Ia
telah kehilangan bagian dari dirinya yang hidup di tahun yang tak ia kenal. Dan
lebih dari itu, ia sadar, gerbang pertama bukan hanya jalan masuk. Ia juga
pintu keluar yang tidak selalu membawa pulang hal yang sama.
Bab 3: Masa Depan Retak
Langit malam menyimpan lebih banyak rahasia daripada siang
yang riuh. Di bawah bintang-bintang yang terasa terlalu terang untuk bulan
Juni, Arga duduk di depan laboratoriumnya yang kini menjadi pusat segala
pertanyaan dalam hidupnya. Di hadapannya, benda logam hitam yang ia temukan
pagi tadi masih berpendar pelan, seolah memiliki detak sendiri—tak terikat oleh
waktu yang biasa dikenalnya.
Ia telah menghabiskan sepanjang hari memeriksa dokumen
digital, kalender daring, dan bahkan rekaman CCTV di laboratorium. Semua
menunjukkan satu hal: tubuhnya benar-benar ada sepanjang tahun itu. Ia bekerja,
bergerak, bahkan mencatat di jurnal dengan tulisan tangannya sendiri, meski
tanpa satu pun memori yang tertinggal di benaknya. Semua dokumentasi itu terasa
seperti arsip dari seseorang yang mirip dengannya, tapi bukan dirinya.
Dan yang lebih mengganggu—pola dalam catatannya selama
setahun itu menunjukkan arah yang pasti: percobaan tidak berhenti di gerbang
pertama. Terdapat indikasi bahwa setidaknya tiga gerbang telah dibuka. Dan
semuanya menunjukkan efek temporal yang semakin memburuk. Anomali energi
semakin tidak stabil. Rekaman visual dari kamera pengawas memperlihatkan
ruangan yang seolah "melipat", pantulan cahaya yang tertunda
sepersekian detik, serta bayangan yang tak mengikuti sumber aslinya.
Namun bukan hanya laboratorium yang menunjukkan tanda-tanda
keretakan. Dunia luar pun tak luput dari dampaknya. Arga mulai menyadari
perbedaan kecil yang tak bisa dijelaskan. Iklan di papan jalan menampilkan
produk yang belum pernah ia dengar. Lagu-lagu yang diputar di radio menggunakan
nama penyanyi yang sama, tapi dengan suara dan gaya yang terasa asing. Beberapa
situs berita memuat kisah-kisah sejarah yang berbeda dari apa yang ia pelajari.
Bahkan peta kota mengalami pergeseran: satu jembatan besar yang dulu
menghubungkan dua distrik kini tak pernah dibangun.
Yang paling menggetarkan adalah ketika ia menemukan potongan
berita lama yang tak pernah ia baca sebelumnya—tentang seorang anak yang hilang
secara misterius setahun lalu, dengan ciri-ciri dan nama yang sama seperti
keponakannya. Dalam ingatannya, anak itu masih hidup dan tinggal bersama
keluarganya di luar kota. Tapi catatan resmi menyebutkan bahwa bocah itu
menghilang pada malam yang sama ketika Arga pertama kali mengaktifkan gerbang
waktu.
Darahnya membeku. Ia mulai memahami bahwa perjalanan waktu
bukan hanya soal pergi ke masa lalu atau masa depan. Setiap kali gerbang
dibuka, garis waktu tidak sekadar terbuka, tetapi tergores, tergeser, bahkan
terkoyak. Masa depan bukan sesuatu yang menunggu, melainkan sesuatu yang bisa
pecah menjadi serpihan-serpihan kemungkinan.
Laboratoriumnya bukan lagi tempat penelitian. Ia kini
menjadi sumbu dari retakan temporal yang mulai menjalar ke dunia nyata. Dan
Arga tahu, jika ia tidak menghentikan ini, dunia akan menghadapi bukan satu
masa depan, tetapi ribuan pecahannya yang saling bertabrakan.
Malam semakin pekat. Di luar, langit bergetar halus, seolah
menyimpan guncangan yang belum dilepaskan. Dan di layar monitor yang mendeteksi
anomali waktu, sebuah notifikasi baru muncul: Gerbang Kedua Terbuka.
Koordinat tak dikenal. Objek masuk terdeteksi.
Arga menatap layar itu tanpa berkedip. Sesuatu—atau
seseorang—telah datang dari celah waktu yang ia buka. Masa depan tidak hanya
retak. Ia telah membocorkan isinya.
Bab 4: Konsekuensi Terlarang
Dini hari menyambut Arga dengan sunyi yang tidak wajar.
Hening itu bukan berasal dari kesunyian biasa, tetapi dari sesuatu yang lebih
dalam—seperti dunia menahan napas, enggan bergerak terlalu cepat di tengah luka
waktu yang terbuka. Angin tak lagi menggesek dedaunan, dan detak jam digitalnya
terus berkedip tanpa suara, seolah bingung kapan harus berdetak berikutnya.
Layar monitor masih menampilkan notifikasi yang tak kunjung
padam: Objek masuk terdeteksi. Namun, tidak ada data lanjutan, tidak ada
rekaman visual, dan tidak ada jejak fisik yang bisa dianalisis. Hanya gangguan
medan elektromagnetik yang menyebar dari pusat laboratorium, seperti riak air
yang tak pernah berhenti. Arga tahu, apa pun yang telah melintasi gerbang kedua
bukan sekadar bentuk materi biasa. Mungkin bukan dari masa depan, atau masa
lalu, tapi dari cabang realitas yang tidak seharusnya bersinggungan dengan
miliknya.
Pagi menjelang lambat. Ia melangkah ke luar, menelusuri
jalanan kota yang mulai menggeliat. Tapi pandangannya segera tertumbuk pada
sesuatu yang membekukan langkahnya: papan reklame besar di jalan utama,
menampilkan sosok dirinya sendiri—dalam jas formal, tersenyum sebagai ilmuwan
peraih penghargaan "Inovator Waktu Nasional". Tahun tertera di
bawahnya: 2027.
Ia belum pernah menerima penghargaan itu. Belum pernah
mengenakan jas seperti itu. Dan tentu saja, belum pernah menyetujui wajahnya
dipajang sebesar itu. Dunia ini, meski terlihat mirip, bukan lagi tempat yang
sepenuhnya ia kenali.
Arga bergegas kembali ke laboratorium, menyisir setiap
catatan eksperimen dari periode satu tahun yang hilang. Di sana, di halaman
paling akhir yang baru saja tertulis entah oleh siapa, ada kalimat yang
membekas dalam tinta merah: “Konsekuensi tidak dapat dibatalkan. Setiap
gerbang membuka satu harga yang harus dibayar.”
Itu bukan tulisannya. Gaya goresannya berbeda, tekanan
tintanya dalam, seolah ditulis dalam kemarahan atau ketakutan. Lebih
mencengangkan lagi, ia menemukan foto dalam laci terkunci—gambar dirinya
berdiri di samping perangkat Gerbang Kelima, dikelilingi oleh tiga sosok
berjubah hitam, wajah mereka kabur seperti terganggu oleh kerusakan digital.
Dalam latar belakang foto itu, langit tak lagi biru, melainkan terbelah seperti
kaca retak, dan bayangan-bayangan gedung melengkung ke arah yang tidak mungkin.
Ia mulai menyadari bahwa konsekuensi dari eksperimennya
tidak hanya menyentuh waktu, tapi melanggar batas realitas. Gerbang bukan
sekadar portal menuju masa lain, tetapi celah ke dimensi alternatif—semacam
percabangan semesta tempat keputusan-keputusan berbeda melahirkan dunia-dunia
lain yang tak pernah ia maksudkan untuk jamah. Dan dari salah satu cabang
itulah, sesuatu telah datang. Mungkin dirinya sendiri—versi lain dari dirinya.
Mungkin entitas lain yang lahir dari percobaan yang berhasil, atau gagal, di
semesta berbeda.
Lebih dari itu, ia mulai merasakan perubahan dalam dirinya.
Ingatannya terkadang terpotong, seperti kaset yang terhapus sebagian. Ia
bermimpi tentang tempat yang belum pernah ia kunjungi, tapi terasa akrab. Ia
bangun dengan bekas luka kecil di tangannya, padahal tak pernah melukainya.
Waktu tidak hanya berubah di luar dirinya. Ia juga mulai berubah dari dalam.
Konsekuensi telah datang, dan tidak ada jalan kembali.
Setiap gerbang yang dibuka bukan hanya membawa ilmu dan kemungkinan—tetapi juga
beban, pertukaran, dan mungkin, kehancuran.
Malam pun datang lagi, membawa keheningan yang lebih berat
dari sebelumnya. Di sudut ruangan laboratorium, perangkat gerbang bergetar
pelan, seolah bersiap membuka celah berikutnya. Arga menatapnya tanpa ekspresi.
Ia tahu, satu gerbang terakhir masih menunggu. Gerbang kelima. Gerbang
terakhir.
Bab 5: Kunci Waktu
Laboratorium kini tak lagi tampak seperti ruang eksperimen
ilmiah. Dindingnya retak oleh paparan gelombang energi yang tak terlihat,
lantai bergemeretak setiap kali mesin utama berdenyut, dan udara terasa lebih
berat, seolah gravitasi sedikit lebih kuat daripada yang semestinya. Semua
peralatan digital hanya menampilkan simbol-simbol acak, dan kompas magnetik
yang ia letakkan di atas meja terus berputar tanpa henti. Dunia, atau
setidaknya potongan kecilnya di sini, sedang runtuh secara perlahan.
Arga berdiri di tengah pusaran itu, dikelilingi oleh rekaman
catatan, hasil eksperimen, dan semua kesalahan yang telah ia ciptakan. Di
tangan kirinya, benda logam hitam yang dulu ia temukan kini bersinar lebih
terang—berdenyut dalam irama yang selaras dengan denyut jantungnya. Ia mulai
mengerti bahwa benda itu bukan hanya artefak dari masa depan atau realitas
lain. Ia adalah kunci.
Namun kunci itu bukanlah alat pembuka. Ia adalah alat
penutup. Setiap kali gerbang dibuka, keseimbangan waktu terganggu, dan setiap
cabang realitas mengalir masuk ke dunia ini, mencari celah untuk menyatu atau
menghancurkan. Gerbang kelima—yang disebutkan dalam catatan terakhir—bukanlah
gerbang menuju masa yang lebih jauh. Ia adalah titik pusat. Simpul dari semua
gerbang, tempat semua arus waktu bertemu dalam satu titik yang melampaui
dimensi.
Ia menyalakan terminal manual. Perangkat terakhir yang masih
berfungsi karena analog. Dengan susah payah, ia mengatur ulang koordinat ke
titik tumpuan waktu. Monitor berkedip pelan, menampilkan satu angka tunggal: 0.0.0.0
— titik asal. Bukan masa lalu, bukan masa depan, tetapi asal mula waktu itu
sendiri.
Saat perangkat aktif, cahaya dari inti mesin meluap hingga
memenuhi seluruh ruangan. Ruang terasa melengkung. Suara dan gema waktu
terdengar samar—suara tangis, tawa, ledakan, hujan, semuanya bertumpuk dan
menyatu. Tidak ada logika. Tidak ada urutan. Hanya kekacauan indrawi yang
datang dari waktu yang tak mengenal arah.
Arga melangkah ke tengah. Tubuhnya mulai terasa ringan,
seolah realitas tak lagi mencengkramnya dengan kokoh. Di dalam dirinya, ingatan
dari versi lain mulai muncul. Ia melihat dirinya sebagai profesor besar di
dunia yang makmur. Sebagai buronan waktu di realitas yang hancur. Sebagai
korban dari percobaan yang gagal. Semua kemungkinan dirinya, bertabrakan dalam
satu kesadaran.
Dan dari kegelapan kilat-kilat cahaya, ia melihat sosok lain
muncul—bukan makhluk asing, bukan entitas menakutkan—melainkan dirinya sendiri.
Tapi dengan wajah yang penuh luka, mata penuh dendam, dan napas berat seperti
menanggung beban sejarah yang panjang. Mereka berdiri saling menatap tanpa
kata, dua versi dari satu jiwa, dipertemukan di ujung simpul waktu.
Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia mengangkat kunci waktu
tinggi-tinggi, dan cahaya di dalamnya menyatu dengan cahaya gerbang. Mesin
berderak keras, lalu diam. Semua vibrasi berhenti. Udara menjadi hening seperti
ruang hampa. Dan satu ledakan cahaya putih yang tak menyilaukan, melainkan
menghapus—menghapus batas, menghapus luka, menghapus percabangan yang telah
terlalu jauh.
Ketika cahaya itu reda, hanya satu versi Arga yang tersisa.
Berdiri sendirian di tengah laboratorium yang kembali sunyi. Waktu telah pulih.
Tak ada lagi getaran. Tak ada lagi retakan. Semua gerbang telah tertutup.
Ia melangkah pelan ke luar laboratorium, menyambut cahaya
pagi yang sederhana. Langit biru seperti biasa, burung-burung berkicau, dan
angin pagi terasa jujur. Dunia telah kembali ke satu garis waktu, satu
kenyataan. Ia tidak tahu berapa banyak yang berubah. Mungkin banyak. Mungkin
hanya sedikit. Tapi satu hal yang pasti: waktu telah memilih satu versi dari
segala kemungkinan, dan itu cukup.
Di belakangnya, pintu laboratorium tertutup perlahan, tidak
terkunci, tetapi tidak akan terbuka lagi dengan cara yang sama.
Post a Comment for "Novel Pendek 5 Bab : Gerbang Kelima "